| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Monday, February 14, 2011

PERSIB lihatlah pemain muda


“Nampaknya ini merupakan bench termahal dalam sejarah Liga Indonesia pemirsa…” inilah sebuah respon yang terdengar dari seorang komentator ANTV saat camera mengambil gambar keadaan bench pemain pengganti pemain PERSIB saat pertengahan babak pertama dalam derby West Java melawan pasukan Peita Jaya Karawang (6/2). Sangat menggelitik perkataan komentator ini, bagaimana tidak saat itu camera memperlihatkan pemain-pemain bintang PERSIB yang tengah duduk manis di bangku cadangan termasuk 4 legiun asing PERSIB musim ini Hilton Moreira, Pablo Frances, Syahril Ishak dan Baihaki Khaizan. Memang benar perkataan sang komentator TV ini, padahal kondisi para pemain asing ber label bintang ini tidak dalam kondisi cedera atau sakit sekalipun, alias fit dan siap untuk diturunkan dalam arena pertarungan.

Pada pertandingan tersebut coach Daniel Roekito memang lebih memilih untuk menurunkan skuad lokal nya dibandingkan pasukan asing nya. Hilton Moreira dan Pablo Frances yang selalu menjadi striker pilihan kedua dan ketiga setelah Christian Gonzales harus merelakan tempatnya menjadi starter setelah diisi striker muda Airlangga Sucipto. Sedangkan posisi Baihaki Khaizan di lini pertahanan tim ditempati salah satu mantan punggawa Timnas Isnan Ali. Senasib dengan kompatriotnya el capitano Timnas Singapura pun harus merelakan posisi nya ditempati Eka Ramdhani, karena pada pertandingan melawan Pelita Jaya Karawang ini PERSIB lebih memilih untuk menurunkan 4 orang saja di lini tengah. Mungkin saja coach Daniel Roekito kecewa dengan kinerja beberapa legiun asing milik PERSIB ini yang berimbas pada hasil yang didapatkan tim dalam 11 pertandingan terakhir. Bagaimana tidak sebelum pertandingan melawan Pelita Jaya, PERSIB hanya mampu bertengger di peringkat 14 klasemen alias hanya satu strip saja di atas Bontang FC yang berdomisili di dasar klasemen. Melakoni 12 Laga dengan hasil 3 kali menang 2 kali draw 7 kali kalah memasukan 11 goal dan kemasukan 24 goal, hanya satu kata memalukan!

Dilain pihak beberapa pemain muda hasil binaan PERSIB yang diberikan kepercayaan tampil bisa dikatakan cukup menjanjikan dalam skala usia nya. Wildansyah dan Muhammad Agung Pribadi secara permainan dan mental bisa dikatakan semakin matang. Dan juga jangan lupakan striker masa depan Timnas Indonesia Airlangga Sucipto, meskipun pada pertengahan babak 2 Airlangga digantikan Hilton Moreira tetapi nampaknya diturunkannya Airlangga dalam pertandingan kali ini memberikan sedikit bukti kapabilitas sang pemain, akibat tendangan spekulasi yang dilepaskan Airlangga bola terlepas dari tangkapan Wardhana kiper Pelita Jaya dan bola reborn pun berhasil disambut Christian Gonzales dan menjadi satu – satu nya goal yang terjadi pada pertandingan sore itu.

Selain ketiga pemain muda yang diturunkan melawan Pelita Jaya, sebenarnya PERSIB masih memiliki beberapa nama pemain muda penuh potensial lainnya seperti Jejen yang saat ini tengah mengalami cedera. Bahkan sebelum mengalami cedera Jejen seolah menghipnotis para bobotoh dengan pergerakan nya yang nyaris mirip salah satu living legend milik PERSIB Yudi Guntara. Belum lagi beberapa pemain muda bertaleta tinggi yang saat ini mengabdi di PERSIB U-21 yang akan selalu siap kapanpun jika harus dipanggil memperkuat PERSIB senior. Lalu jika mempunyai beberapa pemain muda yang mempunyai prospek yang cukup menjanjikan dimasa depan kenapa harus terus-menerus menghaburkan uang dengan mendatangkan pemain berlabel bintang dengan penampilan standart dan loyalitas tanda tanya besar.

Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
Pecinta Sepakbola dan Bobotoh Persib

Tuesday, February 1, 2011

Nurdin Halid Belajar lah dari Gejolak di Timur Tengah

Akhir - akhir ini kondisi bumi di belahan timur tengah seolah menyihir kita semua untuk menyimak perkembangan nya setiap saat, bagaimana tidak? negara yang selama ini selalu dianggap adem ayem dan jauh dari kata chaos Mesir berubah 180 derajat kondisi nya. Kerusuhan dan demonstrasi besar – besar an massa pun terjadi setiap hari nya di Negara yang terkenal dengan seribu menara ini. Alasan nya hanya satu mereka menginginkan Presiden mereka turun dari jabatannya. Sekarang ini bola panas masih terus bergulir di kawasan Mesir, meskipun presiden Husni Mubarak berjanji tidak akan mencalonkan kembali dalam pemilihan Presiden yang akan digelar bulan oktober nanti dan memilih untuk meneruskan jabatan nya sampai habis. Masyarakat pun menolak tegas dan menuntut Husni Mubarak turun saat ini juga. Husni Mubarak sendiri telah menjabat jabatan sebagai Presiden Mesir sejak tahun 1981 setelah menggantikan Presiden sebelumnya Anwar Sadat yang dibunuh secara mengenaskan oleh salah satu perwira Mesir pada saat parade ulang tahun angkatan bersenjata Mesir. Mungkin kondisi seperti ini nyaris serupa dengan gelombang reformasi di Negara Indonesia pada pertengahan tahun 1998 yang menuntut Presiden Alm. Soeharto kala itu untuk mundur. Mungkin secara garis besar pelajaran yang bisa dipetik dari kasus seperti ini yakni terlalu lama nya seorang Pemimpin/Presiden menjabat.

Lalu apa hubungan nya dengan Nurdin Halid dan sepakbola? Nurdin Halid memang bukan seorang Presiden di Negara ini, namun bagaimana pun juga beliau ini merupakan ‘Presiden’ dari lembaga yang bernama PSSI. Sebuah lembaga tertinggi persepakbolaan Indonesia, yang mempunyai hak sangat istimewa yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk oleh pemerintah Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama beberapa tahun kebelakang ini sangat besar tuntutan masyarakat pecinta si kulit bundar untuk sang penguasa Nurdin Halid lengser dari jabatan nya. Suara para pecinta sepakboal ini bukan hanya sebatas di kalangan dunia maia/internet saja, tapi sudah terang – terang an seperti saat timnas Garuda berlaga di ajang AFF Suzuki Cup Desember silam, seolah tanpa komando seluruh penghuni GBK meneriakan satu kalimat secara serentak Nurdin Mundur! Bahkan chants baru ini pun menular dalam beberapa laga baik itu di kompetisi Indonesia Super League, Liga T - Phone maupun Liga Primer Indonesia. Alasan kekecewaan para penikmat sepakbola ini pun begitu kompleks namun satu yang pasti alasan utama nya yakni miskin nya prestasi Timnas Garuda menjadi katalisator yang paling besar. Bagaimana tidak? Prestasi seolah enggan untuk menghinggapi pasukan Garuda, dalam 7 tahun ini jangan kan pulang membawa medali emas dan berkumandang Indonesia Raya dalam acara pengalungan medali, untuk menjadi finalis di ajang sekelas Sea Games pun hanya sebuah mimpi belaka. Dalam ajang AFF Cup yang dulu bernama Tiger Cup pun sebelas duabelas alias sami mawon, 4 kali menjadi runner up tanpa satu gelar juara sekali pun bukan sebuah prestasi yang harus dibanggakan dari sebuah Negara yang memiliki kompetisi paling bonafit di kawasan Asia Tenggara. Ketika AFF Cup desember silam hampir seluruh masyarakat Indonesia termakan euphoria yang sangat berlebihan, mungkin saya pribadi menanggapai nya biasa saja, karena permainan Timnas bisa dikatakan biasa saja jauh dari kata istimewa, bahkan menurut saya secara permainan jauh lebih baik ketika jaman keemasan angkatan Widodo C. Putro maupun Roby Darwis (tapi tidak untuk Mursyid Effendi). Belum lagi dalam ajang sekelas Asian Games atau Piala Asia jangankan untuk berbicara juara, untuk dapat lolos ke putaran final pun sudah syukur Allhamdulilah. Bagaimana dengan event sekelas Piala Dunia? kejauhan…

Selain itu pun masih banyak alasan - alasan lain nya seperti jadwal dan format kompetisi yang jauh dari kata konsisten, berubah – ubah setiap saat menjadi santapan klub yang seolah telah terbiasa. Tak berwibawa nya PSSI dihadapan badan pemerintahan lainnya seperti Polisi sehingga sejumlah pertandingan sering tidak mendapatkan izin atau digelar tanpa penonton, bahkan kejadian lucu dalam dunia persepakbolaan Indonesia pernah terjadi kala seorang Kapolda mengintervensi sebuah laga Final Copa Indonesia. Selain itu pun kompetisi yang berjalan di bawah komando PSSI disinyalir jauh dari kata fair play dan terindikasi terjadinya jual beli trofi sejak musim 2003 yang disinyalir juara yang tampil mempunyai kepentingan politik karena ketua atau manajer klub yang bersangkutan akan bertarung di arena Pilkada. Hal ini pun berimbas pada kekecewaan beberapa insan sepakbola yang membuat liga tandingan LPI dibawah naungan seorang pengusaha top di negeri ini Arifin Panigoro. Namun niatan tulus atau tidak dari terbentuknya liga ini belum bisa dinilai begitu besar, karena liga nya pun baru seumur jagung dan baru melakoni beberapa partai saja.

Sedikit gambaran Nurdin Halid sendiri menjabat ketua umum PSSI menggantikan Agum Gumelar yang mengundurkan diri di tahun 2002, setelah timnas Garuda gagal masuk semifinal di ajang SEA GAMES. Nurdin Halid berhasil mengalahkan saingan nya Soemaryoto dan Jacob Nue Wea dalam memperebutkan kursi ketua umum dalam kongres PSSI di Hotel Indonesia bulan November 2003 silam. 7 tahun sudah Nurdin Halid memimpin orginasasi PSSI ini namun sayang nya kinerja yang dihasilkan jauh dari kata sempurna, bahkan nilai minus nya pun lebih dominan dibandingkan nilai plus dari kacamata penikmat sepakbola negeri ini termasuk saya pribadi. Seolah bak seorang Raja, pemerintah yang langsung dikomandoi Presiden dan Menpora pun seolah tanpa daya, gagal total melengserkan secara ‘paksa’ Nurdin Halid dalam Kongres Sepak Bola Nasional, di Malang 30-31 Maret silam. Bahkan dalam hasil kongres PSSI beberapa minggu silam yang diadakan di Bali, secara tegas Nurdin Halid akan kembali mencalonkan diri untuk jabatan ketua umum PSSI periode berikutnya karena didukung mayoritas pengprov dan pengcab PSSI. ‘Waduh…. kacau dah, bapak kita yang satu ini. Jangan kan menyadari kegagalan nya dan legowo untuk mengundurkan diri malah dengan lantang ingin mencalonkan ketua umum PSSI untuk periode berikutnya, yang lebih aneh Pengprov sama Pengcab nya ko malah ngedukung ya….’

Mungkin Nurdin Halid harus bisa berkaca diri dengan kejadian reformasi besar-besar an yang saat ini menerpa beberapa Negara di timur tengah seperti Sudan, Yordania, Tunisia dan Mesir. Bagaimana pun jika seseorang terlalu lama duduk di bangku pimpinan, maka dia tidak akan pernah menyadari kesalahan nya dan menganggap diri layaknya seorang Raja tanpa cacat. Bukankan sejarah di muka bumi ini pernah mencatat beberapa pemimpin besar yang dituntut mundur secara paksa oleh gelombang massa yang sangat besar? Dan berakhir dengan kerusuhan dan buruk nya nama pemimpin tersebut dikemudian hari. Beliau tidak harus menunggu ribuan bahkan ratusan ribu massa turun kejalan untuk menuntut mundur. Bukankah seorang Presiden pun bisa turun secara paksa oleh tuntutan masyarakat? apalagi ini sekupan nya lebih kecil yakni hanya ketua umum PSSI. Alangkah lebih bijak jika Nurdin Halid dan kroni legowo menyerahkan tampuk pimpin pada orang yang lebih kompeten dan mempunyai niat tulus untuk memajukan persepakbolaan Negeri ini. Bukan hanya mengamankan kepentingan golongan dan partai politik yang menaungi mereka. Karena bagaimana pun seperti yang bang Anas Urbaningrum tuliskan dalam salah satu tweet nya di akun jejaring sosial Twiteer, “kalau mau bola maju, PSSI mesti diurus oleh tokoh non-partai dan gila bola”. Yap saya pribadi sangat setuju dengan pendapat salah satu politikus ini karena bagaimana pun sepakbola akan jauh lebih indah jika tanpa politik!

Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
Pecinta Sepakbola dan Bobotoh Persib

Sunday, January 23, 2011

Tawa Arifin Panigoro Derita Nurdin Halid

Foto: Istimewa (kondisi tribun utara stadion Siliwangi saat pertandingan PERSIB vs AREMA)
Bagi yang kemarin malam menyaksikan pertandingan ISL antara PERSIB Bandung vs Arema Indonesia baik itu langsung di stadion Siliwangi maupun menyaksikan melalui layak kaca TV, saya katakan bahwa mereka orang yang beruntung sebagai maniak dunia si kulit bundar . Bagaimana tidak pada pertengahan babak kedua, pertandingan terhenti hampir satu jam lamanya dan siaran live TV pun harus terhenti akibat kerusuhan yang cukup besar di dalam stadion. Secara kebetulan saya pada saat itu menonton langsung di stadion dan berada di tribun utara, yang notabene nya merupakan tribun penonton pertama dan juga yang terbesar melakukan kerusuhan di malam itu. Supporter dan Polisi seperti jual beli serangan, lempar-lemparan dari botol air plastik sampai batu pun seolah menjadi pemandangan menarik hampir setengah jam lamanya. Karena seolah mengingatkan filosofi saya sebagai seorang supporter sepakbola sejak dulu, “Lebih indah hujan batu di stadion dibandingakan hujan emas di negeri orang “ hehehehe…..

Namun sebenarnya ada sebuah pemandangan yang sangat menarik bagi saya di tengah-tengah kerusuhan tersebut, seluruh penonton di stadion seolah tanpa komando menerikatan satu kata secara serempak LPI… LPI… LPI… LPI… LPI… Dan yang lebih parah supporter yang sedang berada di tengah lapangan dan tengah bertempur pun, menyeret sebuah papan iklan yang tergeletak di sisi lapangan tepat dibawah tribun timur yang bertulisakan LIGA PREMIER INDONESIA beserta logo nya. Papan iklan ini sebenarnya biasa digunakan ketika Bandung FC (salah satu klub LPI) melakoni partai kandang nya di stadion Siliwangi. Pada saat itu saya hanya terseyum dan langsung terfikirkan, bagaimana dengan reaksi Nurdin Halid dan Arifin Panigoro melihat kerusuhan malam itu melalui siaran TV ya? pasti menyajikan dua ekspresi yang sangat kontras dan jelas berbeda.

Sebenarnya emosi penonton pada malam itu terselut setelah salah satu pemain Arema melakukan handsball di kotak penalty, namun wasit yang memimpin pertandingan Najamudin Aspiran bersikukuh pada pendirian nya dan berpendapat bukan sebuah handsball. Mungki feeling saya sang wasit menganggap tangan salah satu pemain Arema yang menyentuh bola tersebut berada pada posisi negative. Namun bisa jadi juga merupakan sebuah pesanan, nama nya juga Liga Sinetron Indonesia hehehe…. Mungkin hanya sang wasit, PSSI dan Tuhan yang tau kejadian yang sebenarnya. Secara keseluruhan sebenarnya kepemimpinan wasit malam itu saya rasa cukup baik (terkecuali tragedi handsball tersebut), namun nampak nya para supporter PERSIB sudah terlalu sakit hati ketika tim nya dicurangi habis-habisan ketika pada pertandingan terakhir nya di kandang PERSISAM oleh wasit Soeharto, empat hari sebelum pertandingan melawan AREMA. Yang secara tidak langsung menyimpulkan di pikiran masing-masing supporter bahwa semuanya wasit di ISL (*maaf) goblog.

Mungkin hal ini bisa penjadi pembelajaran bagi Nurdin Halid beserta PSSI nya, mereka jangan terus-menerus bermanuver politik, musyawarah-musyawarah tertutup yang ga penting, mencari koalisi dan dukungan layaknya parpol menjelang pemilu. Lebih baik mereka mengurusi kompetisi berjalan dengan semestinya. Kualitas wasit, pengaturan jadwal yang tidak konsisten, komisi disiplin yang seolah tebang pilih dan sering termakan keputusan nya sendiri. Sebenarnya hal tersebut merupakan basic dari sebuah kompetisi sepakbola yang bersih dan menjunjung nilai-nilai fair play, tapi mengapa penyimpangan tersebut selalu terulang dan terulang lagi. Bukan hal yang mustahil jika kejadian ini terjadi kembali, bisa berakibat pada hijrah nya klub-klub besar dari ISL dan menuju LPI, yang memang menjanjikan kompetisi yang bersih (meskipun belum teruji, karena rata-rata klub LPI baru melakoni 2 partai). Sebuah kerugian besar jika hal ini terjadi, karena bagaimana pun klub-klub besar seperti PERSIB, PERSIJA atau AREMA merupakan lumbung terbesar PSSI baik itu dari sektor hak siar TV maupun dari sektor-sektor yang lain nya. Lalu apa yang akan PSSI jual pada masyarakat Indonesia, jika klub-klub besar ramai-ramai hijrah menuju LPI? Berfikirlah Nurdin Halid dan PSSI, jika memang tidak mau mundur dan tetap ingin menjalankan organisasi PSSI dan kompetisi ini, berjalan lah dengan semestinya, kompetisi sepakbola yang menjunjung nilai luhur fair play bukan kepentingan politik nan pragmatis. Niscaya pecandu sepakbola di Negeri ini pun setidak nya bisa respect kembali, meskipun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Tidak seperti saat ini, ribut kesana kemari dan menganggap kompetisi di luar PSSI merupakan kompetisi yang haram. Tetapi kompetisi yang mereka urus pun sangat buruk! Bahkan menurut saya lebih professional kompetisi Domba Cup antar kampung. So, saya beserta rekan-rekan datang ke stadion dengan segenap harapan untuk bisa menyaksikan pertandingan yang bersih dan prestasi maksimal dari lambang kebanggaan di dada, bukan untuk menyaksikan sebuah kompetisi yang penuh dengan intrik layaknya sinetron! Football is life!

Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
Pecinta Sepakbola dan Bobotoh Persib