| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Sunday, January 23, 2011

Tawa Arifin Panigoro Derita Nurdin Halid

Foto: Istimewa (kondisi tribun utara stadion Siliwangi saat pertandingan PERSIB vs AREMA)
Bagi yang kemarin malam menyaksikan pertandingan ISL antara PERSIB Bandung vs Arema Indonesia baik itu langsung di stadion Siliwangi maupun menyaksikan melalui layak kaca TV, saya katakan bahwa mereka orang yang beruntung sebagai maniak dunia si kulit bundar . Bagaimana tidak pada pertengahan babak kedua, pertandingan terhenti hampir satu jam lamanya dan siaran live TV pun harus terhenti akibat kerusuhan yang cukup besar di dalam stadion. Secara kebetulan saya pada saat itu menonton langsung di stadion dan berada di tribun utara, yang notabene nya merupakan tribun penonton pertama dan juga yang terbesar melakukan kerusuhan di malam itu. Supporter dan Polisi seperti jual beli serangan, lempar-lemparan dari botol air plastik sampai batu pun seolah menjadi pemandangan menarik hampir setengah jam lamanya. Karena seolah mengingatkan filosofi saya sebagai seorang supporter sepakbola sejak dulu, “Lebih indah hujan batu di stadion dibandingakan hujan emas di negeri orang “ hehehehe…..

Namun sebenarnya ada sebuah pemandangan yang sangat menarik bagi saya di tengah-tengah kerusuhan tersebut, seluruh penonton di stadion seolah tanpa komando menerikatan satu kata secara serempak LPI… LPI… LPI… LPI… LPI… Dan yang lebih parah supporter yang sedang berada di tengah lapangan dan tengah bertempur pun, menyeret sebuah papan iklan yang tergeletak di sisi lapangan tepat dibawah tribun timur yang bertulisakan LIGA PREMIER INDONESIA beserta logo nya. Papan iklan ini sebenarnya biasa digunakan ketika Bandung FC (salah satu klub LPI) melakoni partai kandang nya di stadion Siliwangi. Pada saat itu saya hanya terseyum dan langsung terfikirkan, bagaimana dengan reaksi Nurdin Halid dan Arifin Panigoro melihat kerusuhan malam itu melalui siaran TV ya? pasti menyajikan dua ekspresi yang sangat kontras dan jelas berbeda.

Sebenarnya emosi penonton pada malam itu terselut setelah salah satu pemain Arema melakukan handsball di kotak penalty, namun wasit yang memimpin pertandingan Najamudin Aspiran bersikukuh pada pendirian nya dan berpendapat bukan sebuah handsball. Mungki feeling saya sang wasit menganggap tangan salah satu pemain Arema yang menyentuh bola tersebut berada pada posisi negative. Namun bisa jadi juga merupakan sebuah pesanan, nama nya juga Liga Sinetron Indonesia hehehe…. Mungkin hanya sang wasit, PSSI dan Tuhan yang tau kejadian yang sebenarnya. Secara keseluruhan sebenarnya kepemimpinan wasit malam itu saya rasa cukup baik (terkecuali tragedi handsball tersebut), namun nampak nya para supporter PERSIB sudah terlalu sakit hati ketika tim nya dicurangi habis-habisan ketika pada pertandingan terakhir nya di kandang PERSISAM oleh wasit Soeharto, empat hari sebelum pertandingan melawan AREMA. Yang secara tidak langsung menyimpulkan di pikiran masing-masing supporter bahwa semuanya wasit di ISL (*maaf) goblog.

Mungkin hal ini bisa penjadi pembelajaran bagi Nurdin Halid beserta PSSI nya, mereka jangan terus-menerus bermanuver politik, musyawarah-musyawarah tertutup yang ga penting, mencari koalisi dan dukungan layaknya parpol menjelang pemilu. Lebih baik mereka mengurusi kompetisi berjalan dengan semestinya. Kualitas wasit, pengaturan jadwal yang tidak konsisten, komisi disiplin yang seolah tebang pilih dan sering termakan keputusan nya sendiri. Sebenarnya hal tersebut merupakan basic dari sebuah kompetisi sepakbola yang bersih dan menjunjung nilai-nilai fair play, tapi mengapa penyimpangan tersebut selalu terulang dan terulang lagi. Bukan hal yang mustahil jika kejadian ini terjadi kembali, bisa berakibat pada hijrah nya klub-klub besar dari ISL dan menuju LPI, yang memang menjanjikan kompetisi yang bersih (meskipun belum teruji, karena rata-rata klub LPI baru melakoni 2 partai). Sebuah kerugian besar jika hal ini terjadi, karena bagaimana pun klub-klub besar seperti PERSIB, PERSIJA atau AREMA merupakan lumbung terbesar PSSI baik itu dari sektor hak siar TV maupun dari sektor-sektor yang lain nya. Lalu apa yang akan PSSI jual pada masyarakat Indonesia, jika klub-klub besar ramai-ramai hijrah menuju LPI? Berfikirlah Nurdin Halid dan PSSI, jika memang tidak mau mundur dan tetap ingin menjalankan organisasi PSSI dan kompetisi ini, berjalan lah dengan semestinya, kompetisi sepakbola yang menjunjung nilai luhur fair play bukan kepentingan politik nan pragmatis. Niscaya pecandu sepakbola di Negeri ini pun setidak nya bisa respect kembali, meskipun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Tidak seperti saat ini, ribut kesana kemari dan menganggap kompetisi di luar PSSI merupakan kompetisi yang haram. Tetapi kompetisi yang mereka urus pun sangat buruk! Bahkan menurut saya lebih professional kompetisi Domba Cup antar kampung. So, saya beserta rekan-rekan datang ke stadion dengan segenap harapan untuk bisa menyaksikan pertandingan yang bersih dan prestasi maksimal dari lambang kebanggaan di dada, bukan untuk menyaksikan sebuah kompetisi yang penuh dengan intrik layaknya sinetron! Football is life!

Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
Pecinta Sepakbola dan Bobotoh Persib