| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Friday, December 13, 2013

Spanduk di penjuru stadion adalah identitas dan harga diri kelompok kami !

foto: istimewa

Meskipun selalu dibumbui berbagia intrik dan bermacam kepentingan, Liga Indonesia terus bergulir setiap tahunnya. Stadion-stadion kecil namun padat di seluruh penjuru Negeri selalu disesaki para supporter setia demi membela tim yang mereka bela. Nada penyemangat bergema di setiap menit nya sepanjang laga. Suara dentuman petasan dan asap pekat red flare pun seolah menjelma menjadi  hiasan stadion yang begitu bernada. Terkadang fanatisme yang semu pun berimbas pada beberapa kekerasan di penjuru stadion. Tapi dari seluruh elemen supporter tersebut jangan pernah lupakan satu hal yang menjadi ciri khas stadion-stadion di Indonesia, deretan spanduk diseluruh penjuru stadion.
Jaman terus berganti, kebiasaan dan kebudayaan supporter pun perlahan ikut berubah. Termasuk karakteristik para penonton sepakbola di stadion-stadion Indonesia. Jika pada dekade 80 dan 90an stadion-stadion di Indonesia  selalu dipenuhi  berbagai spanduk yang bernada menyemangati tim dan biasanya spanduk tersebut terbuat dari selembar kain berukuran besar dan dihiasi beraneka cat beragam warna hasil karya imajinasi sang pencipta. Di dekade 2010an keatas budaya spanduk kain ini pun secara mulai tergeser oleh imbas tekhnologi yang datang, yakni digital printing. Secara perlahan pemandangan indah spanduk-spanduk di hampir seluruh penjuru stadion di Indonesia pun mulai berubah, yang awalnya diisi spanduk kain secara perlahan tergantikan banner-banner mengkilap khas digital printing yang jelek.
Bannner digital printing disini memang tidak ada yang salah sama sekali. Namun bila ditelaah lebih jauh baik itu secara history maupun dari rasa kebanggan, rasanya banner-banner modern ini tidak indah dipandang secara kasat mata dan sangat tidak mewakli rasa militansi milik sebuah kelompok supporter. Di dekade 2000an awal ketika penulis masih aktif di berbagai elemen organisasi supporter, diantaranya Viking Antapani dan Viking UNPAS, kami mempunyai kebiasaan membuat spanduk setiap kompetisi baru akan mulai bergulir. Uang untuk membuat spanduk ini biasanya berasal dari uang kas organisasi hasil penjualan tiket pertandingan dan penjualan merchendise distrik. Pembuatan spanduk ini biasanya kami agendakan jauh-jauh hari, karna biasanya kami bisa menghabiskan waktu sampai 1-2 hari bahkan terkadang lebih. Semuanya kami kerjakan secara mandiri, mulai dari membeli kain, cat, mencari tempat, pembuatan sketsa, menjemur sampai hasil akhir. Harus diakui hasil karya yang kami buat ini sangat ribet, tidak efisien bahkan hasilnya secara estetika jauh lebih buruk dibandingkan jika kami memesan pada ahlinya. Secara biaya pun biasanya akan lebih besar bahkan 2 kali lipat biaya normal, karna biasanya pada saat pembutan spanduk ini kami selalu menyelipkan agenda makan bersama alias botram demi lebih mempererat rasa solidaritas ditubuh kelompok kami. Tapi jangan salah, perasaan ribet dan semuanya tersebut tergantikan oleh rasa bangga dan jiwa memiliki yang tinggi. Karna karya yang kami buat tersebut merupakan jerih payah dan hasil tangan kami sendiri, yang akan kami bawa dan pajang di seluruh stadion di Indonesia kala melakoni pertandingan kandang maupun tandang. Karna spanduk kami bukan hanya selembar kain berukuran besar yang tak ada arti, tapi identitas dan harga diri kelompok kami yang akan terus kami jaga!  
Bukan kah bendera, umbul-umbul dan beragam identitas Kerajaan sampai Negara dari jaman Prabu Siliwangi sampai Susilo Bambang Yudhoyono tetap berbentuk kain? Dan sampai kapan pun rasanya tidak akan mungkin berubah wujud menjadi digital printing.

Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
Pecinta Sepakbola dan Bobotoh Persib