foto: istimewa |
Meskipun
selalu dibumbui berbagia intrik dan bermacam kepentingan, Liga Indonesia terus
bergulir setiap tahunnya. Stadion-stadion kecil namun padat di seluruh penjuru Negeri
selalu disesaki para supporter setia demi membela tim yang mereka bela. Nada
penyemangat bergema di setiap menit nya sepanjang laga. Suara dentuman petasan
dan asap pekat red flare pun seolah menjelma menjadi hiasan stadion yang begitu bernada. Terkadang
fanatisme yang semu pun berimbas pada beberapa kekerasan di penjuru stadion.
Tapi dari seluruh elemen supporter tersebut jangan pernah lupakan satu hal yang
menjadi ciri khas stadion-stadion di Indonesia, deretan spanduk diseluruh
penjuru stadion.
Jaman
terus berganti, kebiasaan dan kebudayaan supporter pun perlahan ikut berubah.
Termasuk karakteristik para penonton sepakbola di stadion-stadion Indonesia.
Jika pada dekade 80 dan 90an stadion-stadion di Indonesia selalu dipenuhi berbagai spanduk yang bernada menyemangati tim
dan biasanya spanduk tersebut terbuat dari selembar kain berukuran besar dan
dihiasi beraneka cat beragam warna hasil karya imajinasi sang pencipta. Di
dekade 2010an keatas budaya spanduk kain ini pun secara mulai tergeser oleh
imbas tekhnologi yang datang, yakni digital printing. Secara perlahan
pemandangan indah spanduk-spanduk di hampir seluruh penjuru stadion di
Indonesia pun mulai berubah, yang awalnya diisi spanduk kain secara perlahan
tergantikan banner-banner mengkilap khas digital printing yang jelek.
Bannner
digital printing disini memang tidak ada yang salah sama sekali. Namun bila
ditelaah lebih jauh baik itu secara history maupun dari rasa kebanggan, rasanya
banner-banner modern ini tidak indah dipandang secara kasat mata dan sangat
tidak mewakli rasa militansi milik sebuah kelompok supporter. Di dekade 2000an
awal ketika penulis masih aktif di berbagai elemen organisasi supporter,
diantaranya Viking Antapani dan Viking UNPAS, kami mempunyai kebiasaan membuat
spanduk setiap kompetisi baru akan mulai bergulir. Uang untuk membuat spanduk
ini biasanya berasal dari uang kas organisasi hasil penjualan tiket
pertandingan dan penjualan merchendise distrik. Pembuatan spanduk ini biasanya
kami agendakan jauh-jauh hari, karna biasanya kami bisa menghabiskan waktu
sampai 1-2 hari bahkan terkadang lebih. Semuanya kami kerjakan secara mandiri,
mulai dari membeli kain, cat, mencari tempat, pembuatan sketsa, menjemur sampai
hasil akhir. Harus diakui hasil karya yang kami buat ini sangat ribet, tidak
efisien bahkan hasilnya secara estetika jauh lebih buruk dibandingkan jika kami
memesan pada ahlinya. Secara biaya pun biasanya akan lebih besar bahkan 2 kali
lipat biaya normal, karna biasanya pada saat pembutan spanduk ini kami selalu
menyelipkan agenda makan bersama alias botram demi lebih mempererat rasa
solidaritas ditubuh kelompok kami. Tapi jangan salah, perasaan ribet dan
semuanya tersebut tergantikan oleh rasa bangga dan jiwa memiliki yang tinggi.
Karna karya yang kami buat tersebut merupakan jerih payah dan hasil tangan kami
sendiri, yang akan kami bawa dan pajang di seluruh stadion di Indonesia kala melakoni
pertandingan kandang maupun tandang. Karna spanduk kami bukan hanya selembar
kain berukuran besar yang tak ada arti, tapi identitas dan harga diri kelompok
kami yang akan terus kami jaga!
Bukan
kah bendera, umbul-umbul dan beragam identitas Kerajaan sampai Negara dari
jaman Prabu Siliwangi sampai Susilo Bambang Yudhoyono tetap berbentuk kain? Dan
sampai kapan pun rasanya tidak akan mungkin berubah wujud menjadi digital
printing.
Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
Pecinta Sepakbola dan Bobotoh Persib